“Äku Hamil? Benar, aku hamil?”
Tak percaya, aku elus perutku. Mataku
tertuju pada test pack yang menunjukkan dua garis merah tanda positif
hamil.
Masih tak percaya, aku lantas bertanya
pada suamiku.
“Bi, bener Ummi hamil?”
Ia hanya tersenyum dan berkata : ‘Kenapa
takut hamil lagi, kan ada suaminya”
Begitulah suamiku, selalu memandang
semua yang hadir di depan mata sebagai hal yang patut disyukuri. Tentu dengan
proses kehamilanku saat ini.
Kabar kehamilan anak kedua di saat
sulungku baru genap berusia satu tahun tentu saja mengejutkanku. Proses
kelahiran anak pertama yang tergolong sulit masih menyisakan sedikit trauma. Selain
itu, tubuh yang belum fit setelah melahirkan anak pertama secara caesar membutuhkan
rehat. Seorang Ibu yang melahirkan anak melalui operasi caesar baru dibolehkan
melahirkan setelah 2 tahun. Idealnya, kehamilan kedua seharusnya menunggu anak
sulung berusia minimal 2 tahun.
Bagaimanapun, aku bahagia dengan karunia
ini, tetapi aku juga takut akan proses persalinan nanti. Aku tidak mau anak
kedua ini lahir secara caesar.
Begitulah, proses kehamilan anak kedua
ini dilalui dengan rasa was-was. Beruntungnya aku sudah memiliki anak pertama yang
sedang aktif belajar berjalan, sehingga rasa takut ini teralihkan dengan
banyaknya aktivitasku bersama si sulung.
Kehamilan ini menjadikanku harus
menyapih sulungku lebih awal. Satu tahun lebih cepat dari yang kurencanakan.
Saat menyapih adalah proses yang paling menyedihkan untukku pun pasti untuk
sulungku yang seharusnya masih minum asi.
Proses menyapih dilakukan dengan
mengoleskan brotowali. Saat itu belum banyak literatur yang mengajarkan
menyapih dengan “damai”. Aku masih menggunakan cara lama, meniru tradisi orang
tuaku.
Saat si sulung meminta asi, kusampaikan padanya bahwa mimi asi sekarang
pahit. Tebak apa yang terjadi? Ya sulungku menangis berguling-guling di atas kasur
meminta asi. Aku pun menangis tak tega. Suami menenangkanku dan memintaku untuk
tidak memberikan asi, karena ini akan mengacaukan program.
Qodarulloh proser menyapih anak
pertama berjalan lancar, tak seperti banyak cerita yang aku dengar, di mana
beberapa tetangga terpaksa mendatangi “orang pintar” karena proses pemberian brotowali
gagal. Anak tetap meminta minum asi meski pahit dan Ibu gak tega mendengar anak
menangis. Otomatis anak jadi paham jika pemberian brotowali itu program “setingan’’.
Belakangan aku baru tahu, bahwa
seorang Ibu hamil masih tetap bisa menyusui anaknya jika sang anak masih
berusia di bawah 2 tahun. Ilmu tersebut baru kuperoleh setelah si bungsu
berusia 2 tahun. Ilmu kedokteran terus
berkembang dan banyak Ibu makin paham bahwa posisi asi tak akan bisa tergantikan
dengan susu formula.
Namun rupanya tetap memberikan asi pada
anak di saat sang Ibu yang tengah hamil juga mendatangkan sisi positif dan
negatif. Hal positif adalah sang anak tetap mendapatkan hak sedangkan hal negatif
adalah saat lahir bayi biasanya si kakak sulit mengalah. Akan terjadi proses “rebutan”minum
asi antara kakak yang sudah lahir lebih dulu dan si adik yang masih bayi. Hal
ini tentu menjadi “PR”” bagi para orangtua yang menghadapi masalah yang sama.
Sulungku, abang Faqih, makin pandai berjalan sering memintaku
bermain di luar rumah, sementara perut terus membuncit. Aktivitasku bersama si
sulung membuat tubuh makinhari makin sehat dan kuat.
Berbekal pengalaman melahirkan anak
pertama yang terjadi tanpa proses mulas alami, pada kehamilan anak kedua ini, aku
memilih untuk aktif. Semakin aktif Bunda, semakin lancar proses persalinan yang
akan dijalani.
O ya saat kehamilan anak pertama, di usia
kehamilan 8 bulan aku stop melakukan kegiatan mengajar dan mengabil cuti lebih
awal. Tujuanku saat itu adalah supaya proses persalinan berjalan lancar.
Salahnya, aku tidak banyak beraktifitas, hanya duduk membaca dan sesekali
melakukan jalan pagi bersama suami. Bisa dibayangkan apa yang terjadi saat itu?
Aku hamil gantung, posisi bayi jauh dari jalan lahir. Akhirnya memperlambat
proses pembukaan jalan lahir. Pantaslah hingga hari perkiraan lahir aku tidak merasakan
mulas, bahkan saat akan melahirkan pun mulas tak kudapati sehingga dokter
memutuskan menginduksi dengan memberikan 3 labu.
Berbeda dengan kehamilan si sulung,
setiap pagi, apalagi menjelang proses melahirkan, aku sering melakukan ritual “jalan
kaki’’. Kegiatanku sebagai pengajar paruh waktu, membuat lebih leluasa mengatur waktu. Biasanya pagi
hari aku meminta suami mengantarku ke lapangan Tegalega kota Bandung. Di sana
aku berjalan kaki berkeliling hingga merasa cukup lelah, lalu pulang.
Alhamdulillah, seperti kehamilan
sebelumnya, aku tidak mengalami mabuk atau muntah-muntah seperti yang dialami
beberapa temanku di saat hamil muda. Tri mester pertama, kepalaku memang sering
pusing dan terasa kurang bersemangat. Tidak punya selera makan. Tetapi, aku selalu
memaksakan diri untuk makan, khawatir jabang bayi maal nutrisi. Makan dalam porsi
kecil seperti yang diamanatkan Ibu. Menggunakan piring kecil, memperbanyak
konsumsi sayur dan buah.
Proses pemeriksaaan kandungan secara
rutin dilakukan di bidan puskesmas. Untuk melakukan USG, aku memutuskan untuk
mendatangi dokter spesialis kandungan ternama di kotaku. Saat pemeriksaan
berlangsung, dokter menyampaikan berita yang membuatku kaget. Rupanya sang bayi
berada dalam posisi melintang, sehingga dokter memintaku untuk kembali
menjalani operasi caesar saat melahirkan anak keduaku.
“Posisi bayi melintang Bu, enggak
mungkin dipaksa untuk melahirkan secara normal. Selain itu, jarak kelahiran pertama dan kedua terlalu berdekatan.
Seharusnya, menunggu waktu 2 tahun barulah bisa Hamil kembali”
Pernyataan dokter itu membuatku sedih
dan nyaliku makin ciut menghadapi kelahiran anak ke dua ini.
“Ummi enggak mau caesar lagi. Bagaimana
ini?”. Aku menangis sepanjang perjalanan pulang.
Aku tak bisa tenang, apalagi bayangan
proses melahirkan secara caesar kembali muncul dan ketatakutan itu semakin
nyata.
Suami mengajakku untuk kembali ke
dokter pertama yang menangani proses kelahiran anak sulung kami. Meminta second
opinion. Dokter senior biasanya lebih banyak pengalaman dan lebih bijaksana
dalam menyampaikan informasi kepada pasien.
Dokter Soenardi, Sp.OG terlihat sabar
menjawab banyak pertanyaan yang kusampaikan terkait kondisi kandungan kedua. Aku
bertanya, apakah ada peluang untuk bisa melahirkan secara normal.
Dokter menyampaikan bahwa aku masih
memiliki waktu kurang lebih dua minggu menuju hari perkiraan lahir. Beliau
memintaku rajin melakukan senam dan menempatkan tubuhku dalam posisi sujud. Upaya
tersebut dilakukan agar sang bayi bisa masuk ke jalan lahir secara sempurna dan
aku bisa melahirkan secara normal.
Bahagianya
aku mendengar penjelasan dokter yang membuat hatiku menjadi tenang. Aku
melakukan senam secara rutin dan kerap menelungkupkan badan dalam beberapa
menit agar si jabang bayi manut, mau berputar posisi dan masuk ke jalan lahir.
“Bantu
Ummi ya Dek, berputar masuk ke jalan lahir ya sayang”
0 komentar:
Post a Comment